NEGARA BERANTAKAN KARENA MENCAMPAKKAN AL-QURAN


Ramadhan adalah Bulan Al-Qur'an. Pada bulan inilah untuk pertama kalinya Al-Qur'an diturunkan oleh Allah ﷻ. Al-Quran diwahyukan kepada Nabi Muhammad ﷺ sebagai mukjizatnya yang paling istimewa.

Kemukjizatan Al-Qur'an tidak terbatas oleh ruang dan waktu. Ini berbeda dengan mukjizat para rasul lainnya. Mukjizat mereka berlaku hanya saat mereka hidup. Mukjizat Nabi Musa as. dalam membelah lautan, misalnya, hanya terjadi dan disaksikan oleh orang-orang yang hidup pada zamannya. Adapun kemukjizatan Al-Qur'an berlaku hingga saat ini meski Rasulullah ﷺ sebagai pembawanya telah lama wafat. Allah ﷻ berfirman:

إِنَّا نَحْنُ نَزَّلْنَا ٱلذِّكْرَ وَإِنَّا لَهُۥ لَحَٰفِظُونَ
Sungguh Kamilah Yang telah menurunkan Al-Qur'an. Sungguh Kami pula Yang menjadi Penjaganya (QS al-Hijr [15]: 9).

Mengomentari ayat di atas, Syaikh Wahbah az-Zuhaili menyatakan, “Kalimat Sungguh Kami pula Yang menjadi Penjaganya, yakni dari kepunahan, penambahan dan pengurangan. Al-Qur'an adalah hujjah Kami atas para makhluk hingga Hari Kiamat. Kami menurunkan Adz-Dzikrâ (Al-Qur'an) sebagai petunjuk, rahmat, obat dan cahaya.” (Lihat: Az-Zuhaili, Tafsîr al-Wajîz, QS al-Hijr [15]: 9).


Selalu Berinteraksi dengan Al-Qur'an


Interaksi dengan Al-Qur'an wajib dilakukan jika kita berharap selalu berada di jalan yang lurus. Sejarah mencatat, kejayaan umat Islam berbanding lurus dengan tingkat interaksi mereka dengan Al-Qur'an. Jika interaksi umat Islam dengan Al-Qur'an tinggi maka kejayaan, kesuksesan dan kebahagiaan di dunia dan akhirat sudah pasti menjadi milik mereka. Sebaliknya, jika mereka jauh dari Al-Qur'an maka kesedihan, kekhawatiran dan kesengsaraan sudah pasti akan menimpa mereka di dunia maupun di akhirat (As-Sa’di, Taysîr Karîm ar-Rahmân fî Tafsîr Kalâm al-Mannân, 1/50).

Nabi Muhammad ﷺ pernah mengingatkan bahwa membaca Al-Qur'an adalah cara paling mudah untuk meraih cinta Allah ﷻ. Sabda beliau, “Siapa saja yang mengharapkan cinta Allah dan Rasul-Nya hendaklah membaca Al-Qur'an.” (HR Ibnu Adi, Abu Nu’aim dan al-Baihaqi).

Bahkan Abdullah bin Mas’ud ra. berkata, “Siapa saja yang mencintai Al-Qur'an akan mencintai Allah dan Rasul-Nya.” (HR ath-Thabarani).

Bukti terbesar cinta seseorang pada Al-Qur'an adalah dengan berusaha memahami, merenungi dan memikirkan makna-maknanya. Sebaliknya, bukti kelemahan cinta seseorang pada Al-Qur'an adalah berpaling dari Al-Qur'an dan tidak merenungi maknanya. Imam al-Qurthubi mengatakan: Men-tadabburi Al-Qur'an adalah wajib. Dengan jalan tadabbur-lah diketahui makna-makna Al-Qur'an yang sesungguhnya (Al-Qurthubi, Jâmi’ Ahkâm al-Qur’ân, 5/290).

Allah ﷻ telah dengan gamblang menjelaskan bahwa Al-Qur'an adalah petunjuk (Al-Hudâ) bagi manusia. Namun, masih saja ada manusia yang mencari jalan selain Al-Qur'an. Mereka tidak mengacuhkan Al-Qur'an. Mereka tidak mau mengimani Al-Qur'an. Mereka merasa terganggu dengan bacaan Al-Qur'an. Mereka menolak isi dan aturan yang ada di dalam Al-Qur'an. Mereka dengan berani mengatakan Al-Qur'an sudah tidak sesuai lagi dengan perkembangan zaman. Bahkan mereka berani mengatakan bahwa Al-Qur'an mengekang kebebasan (HAM). Tindakan mereka jelas merupakan tindakan yang lancang kepada Allah ﷻ dan Rasul-Nya.


Dosa Besar Mencampakkan Al-Qur'an


Perilaku mencampakkan Al-Qur'an (Hajr Al-Qur’ân) adalah dosa besar. Allah ﷻ mencela orang-orang yang berperilaku demikian. Banyak perilaku yang termasuk Hajr Al-Qur’ân (mencampakkan Al-Qur'an).

Tidak meyakini kebenaran Al-Qur'an. Tidak mau mendengarkan dan tidak memperhatikan Al-Qur'an. Mengimani Al-Qur'an, tetapi tidak mau mempelajarinya. Mempelajari kandungan Al-Qur'an, tetapi jarang sekali membacanya. Sering membaca Al-Qur'an, tetapi tidak mentadabburinya. Kadang merenungi makna dan memahami ayat-ayat Al-Qur'an, tetapi enggan mengamalkannya. Tidak menghalalkan apa yang telah dihalalkan Al-Qur'an. Tidak mengharamkan apa yang diharamkan Al-Qur'an. Tidak menjadikan Al-Qur'an sebagai sumber aturan dan hukum untuk mengatur kehidupan. Mencari ketenangan dan penyelesaian masalah bukan dari Al-Qur'an. Semua itu adalah perilaku Hajr Al-Qur’ân (mencampakkan al-Quran).

Al-Hafizh Ibn Katsir mengatakan bahwa Allah ﷻ telah mengabarkan tentang keluhan Rasul-Nya atas perilaku kaumnya:

وَقَالَ الرَّسُولُ يَا رَبِّ إِنَّ قَوْمِي اتَّخَذُوا هَذَاالْقُرْآنَ مَهْجُورًا
Tuhanku, sungguh kaumku telah menjadikan Al-Qur'an ini sebagai sesuatu yang dicampakkan (QS al-Furqan [25]: 30).

Keluhan itu terucap karena perilaku umatnya yang tidak mau memperhatikan dan mendengarkan Al-Qur'an. Allah ﷻ berfirman:

وَقَالَ الَّذِينَ كَفَرُوا لَا تَسْمَعُوا لِهَذَا الْقُرْآنِ وَالْغَوْا فِيهِ لَعَلَّكُمْ تَغْلِبُونَ
Orang-orang kafir berkata, “Janganlah kalian mendengarkan Al-Qur'an dan buatlah hiruk-pikuk terhadapnya agar kalian menang.” (QS Fushshilat [41]: 26).

Jika Al-Qur'an dibacakan, mereka merasa risih. Mereka lalu membuat gaduh atau perkataan lain yang secara sengaja dilakukan agar Al-Qur'an tidak didengar. Perbuatan ini termasuk dalam kategori Hajr Al-Qur’ân (mencampakkan Al-Qur'an).

Demikian pula tidak mengamalkan Al-Qur'an. Tidak melaksanakan perintah-perintah Al-Qur'an. Tidak menjauhi larangan-larangan Al-Qur'an. Berpaling dari Al-Qur'an ke hal lain (seperti lebih senang dan tenang mendengar dan melantunkan syair, musik, lagu atau nyanyian) selain Al-Qur'an. Sibuk mempelajari perkataan, permainan, pembicaraan atau tuntunan yang diambil dari selain Al-Qur'an. Semua itu, menurut Ibnu Katsir, termasuk perilaku mencampakkan Al-Qur'an (Lihat: Ibnu Katsir, Tafsîr al-Qur’ân al-‘Azhîm, 6/108).

Ibn Qayyim al-Jauziyah pun menyebutkan sejumlah perilaku Hajr Al-Qur’ân (mencampakkan Al-Qur'an) seperti: tidak mau mendengarkan Al-Qur'an; tidak mengamalkan kandungannya; tidak menghalalkan apa yang dihalalkan Al-Qur'an; tidak mengharamkan apa yang telah diharamkan Al-Qur'an meski membaca dan mengimani Al-Qur'an; tidak berhukum dan tidak menjadikan Al-Qur'an sebagai landasan hukum, baik dalam masalah ushul (pokok) ataupun furuu’ (cabang); tidak mentafakuri dan mentadabburi Al-Qur'an; tidak berupaya mengetahui apa yang Allah kehendaki dalam Al-Qur'an; tidak menjadikan Al-Qur'an sebagai obat penyembuh bagi berbagai macam penyakit hati dan fisik; atau (lebih mengutamakan) mencari obat penyembuh selain Al-Qur'an (Ibn Qayyim al-Jauziyah, Al-Fawâ’id, 1/82).

Tindakan mencampakkan Al-Qur'an akan menjadikan pelakunya tenggelam dalam jurang kesesatan:

أَلَمْ تَرَ إِلَى الَّذِينَ يَزْعُمُونَ أَنَّهُمْ آمَنُوا بِمَا أُنْزِلَ إِلَيْكَ وَمَا أُنْزِلَ مِنْ قَبْلِكَ يُرِيدُونَ أَنْ يَتَحَاكَمُوا إِلَى الطَّاغُوتِ وَقَدْ أُمِرُوا أَنْ يَكْفُرُوا بِهِ وَيُرِيدُ الشَّيْطَانُ أَنْ يُضِلَّهُمْ ضَلَالًا بَعِيدًا
Apakah kamu tidak memperhatikan orang-orang yang mengaku dirinya telah beriman kepada apa yang diturunkan kepadamu dan kepada apa yang diturunkan sebelum kamu? Mereka hendak berhakim kepada thâghût. Padahal mereka telah diperintah mengingkari thâghût itu. Setan bermaksud menyesatkan mereka (dengan) penyesatan yang sejauh-jauhnya (QS an-Nisa’ [4]: 60).

Orang yang berpaling dari Al-Qur'an, dadanya akan terasa sempit dan sesak meskipun dia memiliki harta yang berlimpah:

وَمَنْ أَعْرَضَ عَنْ ذِكْرِي فَإِنَّ لَهُ مَعِيشَةً ضَنْكًا وَنَحْشُرُهُ يَوْمَ الْقِيَامَةِ أَعْمَىٰ
Siapa saja yang berpaling dari peringatan-Ku (Al-Qur'an), sungguh bagi dia penghidupan yang sempit, dan Kami akan menghimpunkan dirinya pada Hari Kiamat dalam keadaan buta (QS Thaha [20]: 124).

Itulah bahaya dari tindakan mencampakkan Al-Qur'an.

Tampaknya, carut-marutnya kondisi negeri ini disebabkan karena begitu beraninya para pengambil kebijakan negara mencampakkan Al-Qur'an. Bahkan bukan hanya mencampakkan, mereka juga menuduh Al-Qur'an sebagai kitab suci yang sudah tidak relevan dengan perkembangan zaman. Mereka berani mengatakan bahwa ayat konstitusi derajatnya lebih tinggi daripada kitab suci. AstaghfirulLâh.

Akibat mencampakkan Al-Qur'an, negeri yang kaya dengan sumber daya alam ini justru jatuh terpuruk pada zona kemiskinan. Negeri yang begitu luas ini terasa sempit. Sumber daya alamnya yang melimpah tidak menjadikan mayoritas rakyatnya hidup bahagia. Sebaliknya, rakyat serasa hidup pada zaman kolonial; rakyat dicekik pajak upeti oleh para kompeni. Pribumi serasa hidup di negeri orang.


Ramadhan Momentum Membumikan Al-Qur'an


Ramadhan adalah Bulan Al-Qur'an. Karena itu sejatinya Bulan Ramadhan dijadikan oleh kaum Muslim momentum untuk kembali membumikan Al-Qur'an. Caranya tentu dengan mengamalkan seluruh isi Al-Qur'an sekaligus berhukum pada Al-Qur'an. Jika Ramadhan saja bisa mulia karena Al-Qur'an turun di dalamnya, apalagi manusia. Manusia akan mulia jika semua aktivitas kehidupan mereka diatur dengan hukum-hukum Al-Qur'an.

Oleh sebab itu berhukum dengan Al-Qur'an adalah sebuah keniscayaan. Tidak boleh tidak. Umat Islam secara keseluruhan wajib berhukum pada Al-Qur'an. Berhukum pada Al-Qur'an adalah wujud nyata ketakwaan kepada Allah ﷻ. Jika puasa Ramadhan benar-benar menghasilkan ketakwaan kepada pelakunya, sejatinya mereka akan berhukum pada Al-Qur'an. Ketakwaan tentu dengan mengamalkan Al-Qur'an dan berhukum pada Al-Qur'an pasti akan menghasilkan rahmat dan keberkahan dari Allah ﷻ. Allah ﷻ berfirman:

وَلَوْ أَنَّ أَهْلَ الْقُرَى آمَنُوا وَاتَّقَوْا لَفَتَحْنَا عَلَيْهِمْ بَرَكَاتٍ مِنَ السَّمَاءِ وَالْأَرْضِ وَلَكِنْ كَذَّبُوا فَأَخَذْنَاهُمْ بِمَا كَانُوا يَكْسِبُونَ
Andai penduduk negeri-negeri beriman dan bertakwa, pasti Kami akan menurunkan kepada mereka keberkahan dari langit dan bumi. Akan tetapi, mereka mendustakan (ayat-ayat Kami). Karena itu Kami menyiksa mereka karena apa yang mereka perbuat itu (TQS al-A’raf [7]: 96).


Hikmah:

Allah ﷻ berfirman:

وَنُنَزِّلُ مِنَ الْقُرْآنِ مَا هُوَ شِفَاءٌ وَرَحْمَةٌ لِلْمُؤْمِنِينَ وَلَا يَزِيدُ الظَّالِمِينَ إِلَّا خَسَارًا
Kami menurunkan Al-Quran agar menjadi obat dan rahmat bagi kaum Mukmin. Tidaklah bertambah bagi kaum yang zalim itu selain kerugian. (TQS al-Isra’ [17]: 82).

والله أعلمُ ﺑﺎ ﻟﺼﻮﺍﺏ
“dan Allah lebih tahu yang sebenar-benarnya”

Kaffah Edisi 240

Post a Comment

Previous Post Next Post

Iklan In-Feed (homepage)

" target="_blank">Responsive Advertisement